Lalu Akhiruddin |
Namaku Reyhan, aku pernah mencintai seseorang dengan tulus, tapi cintaku kepadanya takkan pernah bersatu. Perasaanku kepadanya tak mampu aku utarakan, oleh karna hidupku takkan lama lagi. Sudah dua tahun aku terbelenggu oleh penyakit yang tak bias aku lawan. Kata dokter aku mengidap penyakit kanker otak stadium terakhir. Dokter juga memperkirakan hidupku tinggal enam bulan lagi.
Rizka , itulah namanya. Dialah perempuan yang selama ini aku sayangi, aku mengenalnya sejak saat SMP. Awalnya aku benci padanya, tapi lama-kelamaan rasa benci itu berubah menjadi cinta. Kini aku duduk di bangku kelas tiga SMA, selama itulah aku belum bisa mengutarakan perasaanku kepadanya. Aku ingin menjalani sisa umurku untuk mengukir kenangan indah bersamanya.
Pagi, di sekolah.
“Rey, kok melamun ? . Tanya rizka kepadaku.
Dengan terkejut aku menjawab.
“Aku gak pa pa kok, aku cuman……”
“cuman apa ?. hardik rizka. Memotong ucapanku. Dari tatapan matanya, sepertinya dia ingin aku mengatakan sesuatu padanya.
“aku cuman…..”
Belum selesai aku menjawab pertanyaan rizka, tiba-tiba Ardi datang. Ardi adalah sahabat aku dan rizka.
“Rizka, sini. Aku mau bicara sama kamu”. Panggil ardi sambil berdiri di dekat pintu.
“Rizka. Kamu samperin ardi dulu sana ! “kataku pada rizka.
“Tapi…..”
“Udah, samperin dulu sana !
“Ya deh “. Sambil menuju ardi.
Aku selalu berusaha menjadi laki-laki yang berfikiran fositif. Jadi , aku kadang berfikir kalau hubungan aku sama rizka sekarang jauh lebih bahagia. Aku takut jika aku pacaran nanti cuman akan mengundang air mata.
Rizka. Seseorang yang paling berharga buat aku sekarang, andaikan aku mampu berkata di depannya bahwa aku sayang dia dan aku gak mau kehilangan dia, mungkin aku akan jauh lebih tenang, tapi beberapa kali aku mencoba untuk mengatakannya malah yang ada hanya gemetaran yang aku rasa, mungkin belum saatnya aku berkata seperti itu kepadanya.
Tawa dan candanya adalah warna di hidupku, aku tak ingin semuanya berlalu begitu cepat. Rizka juga adalah salah satu alasan yang membuatku betah di masa SMA yang dulu aku anggap biasa saja.
Rizka juga sebenarnya belum tahu akan penyakitku, yang dia tahu menurutnya aku baik-baik saja. Akupun tidak mau dia tahu penyakitku yang sebenarnya, aku tidak mau melihat dia bersedih, meneteskan air mata karna tahu akan penyakitku. Andaikan aku hidup seratus tahun lagi, aku ingin selalu berada di sampingnya, menjaganya, menghiburnya dikala ia bersedih dan aku ingin selalu menatap wajahnya. Tapi tuhan berkata lain, enam bulan lagi aku tak bisa lagi di sampingnya, menjaganya, menghiburnya dikala dia bersedih, apalagi menatap wajahnya.
“ya tuhan. Berikanlah aku ketabahan menghadapi semua ini. Jika engkau telah memanggilku, maka jagalah dia. Jangan pernah biarkan dia bersedih, apalagi dia bersedih menangisi kepergianku. Aku ingin dia selalu ceria, selalu bahagia meskipun tanpa aku”.
Pintaku di dalam hati.
Aku selalu menahan perasaanku ketika teman-temanku menanyakan kedekatanku dengan rizka selama ini, aku sakit ketika aku harus bilang “Bukan, dia hanya temanku”. Dan merekapun menjawab “Padahal udah cocok banget, jadian saja”. Akupun hanya membalas dengan senyuman. Tapi perlahan masalah itu sudah menjadi hal yang biasa untukku.
Setiap malam, setiap kesempatan, aku selalu berdoa akankah aku mampu mengutarakan perasaanku kepadanya. “Ya Tuhan. Cinta ini membunuhku…….
Dia adalah mimpi yang tak akan pernah aku gapai.
Tiga bulan telah berlalu, rambut di kepalaku mulai rontok, kesekolahpun aku mengenakan topi untuk menutupi rambutku yang mulai rontok. Hal ini ku lakukan biar tidak seorangpun yang tahu bahwa aku mengidap kanker otak, terlebih-lebih rizka. Hingga pada suatu hari aku jatuh pingsan, bahkan di hadapan rizka. Sebenarnya pada saat itu aku ingin mengutarakan perasaanku kepadanya. Di bawalah aku ke rumah sakit, dari peristiwa itu, Rizka tahu bahwa aku mengidap penyakit kanker. Hal yang tidak aku inginkan, mendengar kabar itu. Rizka langsung terpukul, seakan-akan dia tidak percaya.
Selama aku di rawat di rumah sakit, Rizkalah yang selalu menjagaku, empat hari aku di rawat dia selalu setia di sampingku. Hingga di suatu pagi langit biru mengharu dalam sendu, sang mentari Nampak tak berseri, kicau burung-burung mengalun pilu, hembus amgin membisik sedih seolah-olah menandakan bahwa aku akan meninggalkan semuanya, meninggalkan semua kenanganku bersama rizka. Tapi syukur, tuhan memberikanku kesempatan untuk mengutarakan perasaanku yang selama ini aku pendam terhadap Rizka.
Aku buka mataku untuk yang terakhir kalinya, aku lihat dia sedang tidur terlelap di sampingku, aku bangunkan ia seraya berkata
“Rizka, sebenarnya selama ini aku mencintaimu, aku menyayangimu, tapi tuhan tidak mentakdirkan kita untuk bersama”.
“Rizka, perasaan ini takkan pernah mati walau sampai akhir nanti kau selalu di hati. Perasaan ini akan selalu ada meski aku telah tiada, aku tunggu kau di syurga”.
Di sela-sela nafas terakhirku, aku mendengar Rizka berdo’a
“Tuhan, berikan dia hidup satu kali lagi hanya untuk bersamaku, aku akan mencintainya, sungguh mencintainya, aku ingin selalu bersamanya Tuhan”.
Hingga akhirnya, aku menutup mata di pelukan Rizka.
No comments:
Post a Comment
lombok menulis