Oleh: Aliya Nurlela
Saat kita menawarkan sebuah konsep kepada seseorang, mungkin pernah mendapat jawaban seperti ini,” Kamu lakukan saja dulu. Nanti kalau kamu berhasil, saya ikut.” Terlihat sekali, yang menjadi ukuran adalah hasil. Bukan bagus tidaknya konsep itu. Atau baik buruknya sebuah ajakan. Ini menandakan bahwa ia akan berbuat jika orang lain berhasil. Meski sesuatu itu baik, jika oranglain tidak berhasil, tidak mau melakukan. Itu gambaran umum. Mungkin, kitapun kadangkala bersikap demikian. Masih banyak tipe orang yang wait and see, menunggu oranglain sampai berhasil. Ketika oranglain berhasil, barulah bertindak dan itu sudah terlambat.
Menjadi penonton memang enak. Contoh, saat pertandingan sepakbola. Penonton bisa teriak-teriak, ikut mengatur harus ke arah mana bola ditendang, dan bisa memaki-maki pemain sepuasnya. Jika pemain menang dalam pertandingan, penonton akan bersorak sorai,meng elu-elukan bahkan menampakkan seolah-olah ia ikut andil dalam kemenangan para pemain itu.
Namun, ketika pemain kalah di medan pertandingan. Umpatan, makian hingga lemparan benda ke arah pemain bisa dilakukan penonton. Saat kalah, penonton bisa berlepas tangan, seolah-olah bukan bagian dari pendukung tim tersebut. Bahkan bisa dengan entengnya mengatakan, “ Saya bilang juga apa. Coba kalau bolanya di giring ke arah pinggir dulu untuk mengelabui lawan?” Seolah-olah sepak terjangnya lebih hebat dari pemain. Tetapi, coba suruhlah ia menggantikan salahsatu pemain, bisa jadi permainannya lebih parah. Itulah penonton.
Meskipun menjadi penonton itu enak, tetapi lebih enak lagi menjadi pemain. Kenapa? Yang dihargai adalah pemain. Yang mendapat trophy adalah pemain. Yang disanjung adalah pemain. Yang menjadi berita di media adalah pemain. Meskipun menjadi pemain itu harus berkeringat, kelelahan, hingga babak belur kena amukan penonton, tetapi pemainlah yang di bayar. Penonton harus membayar dengan membeli tiket. Sehebat-hebat penonton, dengan memberikan dukungan terbaik dan sering menonton pertandingan, tidak akan mendapatkan penghargaan dari pihak penyelenggara. Tetapi, seburuk-buruk pemain, meski kalah berulang kali masih tetap mendapat penghargaan walau nilai penghargaannya lebih kecil dari pemain yang menang.
Dalam dunia menulispun demikian, seorang penulis (pemain) harus berkeringat, berpikir menyusun kata, berusaha menemukan ide, menawarkan hasil karyanya pada media. Jika karyanya bagus, akan di terima. Mendapatkan honor, royalti, popularitas, undangan-undangan, hingga kenalan baru dari berbagai kalangan.
Namun, di satu sisi harus mendapat kritikan, bukunya tidak laku, honor minim dan keluar banyak biaya untuk pengetikan. Itulah penulis, yang telah siap menjadi pemain dengan segala resikonya. Tanpa melihat hasil akhir. Dengan catatan, saat memulai menulis sudah berpegang pada rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar, baik menurut norma agama ataupun norma yang berlaku di masyarakat.
Berbeda dengan orang yang bertipe wait and see tadi, ia menunggu oranglain berhasil. Jika oranglain berhasil menulis sebuah novel, hingga novel tersebut menjadi best seller maka barulah ia bergerak. Oranglain yang sudah menghasilkan novel best seller tadi sudah melangkah lebih jauh, ia baru memulai. Sibuk mencari penulis senior yang bisa membimbing, menghubungi tempat-tempat kursus menulis, mencari informasi cara mengirim karya dan lain sebagainya. Masih memulai. Memang tak ada kata terlambat dalam belajar, namun kekeliruan yang perlu di garis bawahi adalah’ menunggu oranglain berhasil, baru bergerak’, itu yang tidak tepat.
Kecenderungan seorang penonton, selalu mengentengkan hasil karya oranglain. Sebab, penonton tidak merasakan bagaimana proses pembuatan karya tersebut. Penonton hanya melihat hasil akhirnya. Satu contoh, ketika ada teman yang berhasil menerbitkan buku. Komentar si penonton, “Cuma buku seperti ini aja, promosinya gede-gedean.” Mengentengkan! Ia tidak tahu, saat penulis buku tersebut menyusun kalimat demi kalimat untuk menjadi sebuah buku. Ia harus menguras pikirannya, menyisihkan waktu khusus, membagi waktu dengan keluarga, mungkin juga sambil menggendong anaknya termasuk melakukan survey lapangan.
Perlu perjuangan panjang sebelum terwujud menjadi sebuah buku. Namun di mata penonton, perjuangan sering diabaikan, yang dilihat adalah hasil. Seorang pemain, akan lebih menghargai hasil karya oranglain. Sebab ia merasakan proses berjuang itu seperti apa. Ia tahu menciptakan sebuah karya itu tidak mudah. Oleh karena itu, lebih arif menilai daripada seorang penonton. Sayapun sedang belajar untuk menjadi seorang pemain yang baik dalam segala hal, bukan hanya dalam bidang menulis. Dalam arti, belajar mempraktekkan ilmu yang di dapat meski ilmu itu belumlah banyak. Ilmu tanpa praktek, hanya akan membuat ilmu itu tidak berguna dan diri kitapun tak berguna.
Sahabat FAM, seorang pemain membuat sesuatu itu terjadi. Sedangkan seorang penonton melihat sesuatu itu terjadi. Seorang pemain melihat peluang dalam kesulitan. Sedangkan seorang penonton melihat kesulitan dalam peluang. Seorang pemain akan cepat menangkap peluang untuk ambil bagian. Sedangkan penonton, menunggu oranglain melakukannya. Berhentilah menjadi ‘penonton’! Mari kita berbuat sekarang juga. Kita amalkan ilmu yang kita terima, sekarang juga. Kita sama-sama belajar menjadi seorang pemain yang baik melalui wadah kepenulisan nasional FAM Indonesia.
Salam santun, salam karya!
SEKJEN FAM INDONESIA
Saat kita menawarkan sebuah konsep kepada seseorang, mungkin pernah mendapat jawaban seperti ini,” Kamu lakukan saja dulu. Nanti kalau kamu berhasil, saya ikut.” Terlihat sekali, yang menjadi ukuran adalah hasil. Bukan bagus tidaknya konsep itu. Atau baik buruknya sebuah ajakan. Ini menandakan bahwa ia akan berbuat jika orang lain berhasil. Meski sesuatu itu baik, jika oranglain tidak berhasil, tidak mau melakukan. Itu gambaran umum. Mungkin, kitapun kadangkala bersikap demikian. Masih banyak tipe orang yang wait and see, menunggu oranglain sampai berhasil. Ketika oranglain berhasil, barulah bertindak dan itu sudah terlambat.
Menjadi penonton memang enak. Contoh, saat pertandingan sepakbola. Penonton bisa teriak-teriak, ikut mengatur harus ke arah mana bola ditendang, dan bisa memaki-maki pemain sepuasnya. Jika pemain menang dalam pertandingan, penonton akan bersorak sorai,meng elu-elukan bahkan menampakkan seolah-olah ia ikut andil dalam kemenangan para pemain itu.
Namun, ketika pemain kalah di medan pertandingan. Umpatan, makian hingga lemparan benda ke arah pemain bisa dilakukan penonton. Saat kalah, penonton bisa berlepas tangan, seolah-olah bukan bagian dari pendukung tim tersebut. Bahkan bisa dengan entengnya mengatakan, “ Saya bilang juga apa. Coba kalau bolanya di giring ke arah pinggir dulu untuk mengelabui lawan?” Seolah-olah sepak terjangnya lebih hebat dari pemain. Tetapi, coba suruhlah ia menggantikan salahsatu pemain, bisa jadi permainannya lebih parah. Itulah penonton.
Meskipun menjadi penonton itu enak, tetapi lebih enak lagi menjadi pemain. Kenapa? Yang dihargai adalah pemain. Yang mendapat trophy adalah pemain. Yang disanjung adalah pemain. Yang menjadi berita di media adalah pemain. Meskipun menjadi pemain itu harus berkeringat, kelelahan, hingga babak belur kena amukan penonton, tetapi pemainlah yang di bayar. Penonton harus membayar dengan membeli tiket. Sehebat-hebat penonton, dengan memberikan dukungan terbaik dan sering menonton pertandingan, tidak akan mendapatkan penghargaan dari pihak penyelenggara. Tetapi, seburuk-buruk pemain, meski kalah berulang kali masih tetap mendapat penghargaan walau nilai penghargaannya lebih kecil dari pemain yang menang.
Dalam dunia menulispun demikian, seorang penulis (pemain) harus berkeringat, berpikir menyusun kata, berusaha menemukan ide, menawarkan hasil karyanya pada media. Jika karyanya bagus, akan di terima. Mendapatkan honor, royalti, popularitas, undangan-undangan, hingga kenalan baru dari berbagai kalangan.
Namun, di satu sisi harus mendapat kritikan, bukunya tidak laku, honor minim dan keluar banyak biaya untuk pengetikan. Itulah penulis, yang telah siap menjadi pemain dengan segala resikonya. Tanpa melihat hasil akhir. Dengan catatan, saat memulai menulis sudah berpegang pada rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar, baik menurut norma agama ataupun norma yang berlaku di masyarakat.
Berbeda dengan orang yang bertipe wait and see tadi, ia menunggu oranglain berhasil. Jika oranglain berhasil menulis sebuah novel, hingga novel tersebut menjadi best seller maka barulah ia bergerak. Oranglain yang sudah menghasilkan novel best seller tadi sudah melangkah lebih jauh, ia baru memulai. Sibuk mencari penulis senior yang bisa membimbing, menghubungi tempat-tempat kursus menulis, mencari informasi cara mengirim karya dan lain sebagainya. Masih memulai. Memang tak ada kata terlambat dalam belajar, namun kekeliruan yang perlu di garis bawahi adalah’ menunggu oranglain berhasil, baru bergerak’, itu yang tidak tepat.
Kecenderungan seorang penonton, selalu mengentengkan hasil karya oranglain. Sebab, penonton tidak merasakan bagaimana proses pembuatan karya tersebut. Penonton hanya melihat hasil akhirnya. Satu contoh, ketika ada teman yang berhasil menerbitkan buku. Komentar si penonton, “Cuma buku seperti ini aja, promosinya gede-gedean.” Mengentengkan! Ia tidak tahu, saat penulis buku tersebut menyusun kalimat demi kalimat untuk menjadi sebuah buku. Ia harus menguras pikirannya, menyisihkan waktu khusus, membagi waktu dengan keluarga, mungkin juga sambil menggendong anaknya termasuk melakukan survey lapangan.
Perlu perjuangan panjang sebelum terwujud menjadi sebuah buku. Namun di mata penonton, perjuangan sering diabaikan, yang dilihat adalah hasil. Seorang pemain, akan lebih menghargai hasil karya oranglain. Sebab ia merasakan proses berjuang itu seperti apa. Ia tahu menciptakan sebuah karya itu tidak mudah. Oleh karena itu, lebih arif menilai daripada seorang penonton. Sayapun sedang belajar untuk menjadi seorang pemain yang baik dalam segala hal, bukan hanya dalam bidang menulis. Dalam arti, belajar mempraktekkan ilmu yang di dapat meski ilmu itu belumlah banyak. Ilmu tanpa praktek, hanya akan membuat ilmu itu tidak berguna dan diri kitapun tak berguna.
Sahabat FAM, seorang pemain membuat sesuatu itu terjadi. Sedangkan seorang penonton melihat sesuatu itu terjadi. Seorang pemain melihat peluang dalam kesulitan. Sedangkan seorang penonton melihat kesulitan dalam peluang. Seorang pemain akan cepat menangkap peluang untuk ambil bagian. Sedangkan penonton, menunggu oranglain melakukannya. Berhentilah menjadi ‘penonton’! Mari kita berbuat sekarang juga. Kita amalkan ilmu yang kita terima, sekarang juga. Kita sama-sama belajar menjadi seorang pemain yang baik melalui wadah kepenulisan nasional FAM Indonesia.
Salam santun, salam karya!
SEKJEN FAM INDONESIA
No comments:
Post a Comment
lombok menulis